
Palu,Updatesulawesi – Bagi generasi milenial dan Gen Z, istilah “koran” mungkin terdengar asing,seperti artefak dari masa lalu.
Namun bagi Abdee Mari, wartawan senior yang pernah berkiprah di Harian Radar Palu, koran bukan sekadar media cetak, melainkan saksi hidup dan tonggak awal karier jurnalistiknya.
“Di era gawai dan media sosial, informasi datang dan pergi secepat kilat, sering kali tanpa verifikasi. Dulu tidak seperti itu,” ujar Abdee mengenang masa kejayaan koran.
Abdee memulai kariernya sebagai jurnalis di Harian Radar Palu, salah satu koran metropolis yang diterbitkan oleh Harian Radar Sulteng, bagian dari grup besar Jawa Pos.
Radar Palu hadir sekitar tahun 2001 dan menjadi media lokal yang menyoroti denyut kehidupan Kota Palu, sementara Radar Sulteng mengusung cakupan provinsi hingga nasional.
Di Radar Palu, Abdee benar-benar merasakan kerasnya dunia media cetak. Setiap berita yang naik cetak melalui proses panjang dari liputan di lapangan, verifikasi, penulisan, penyuntingan, hingga masuk ke proses produksi fisik koran.
“Saya sebelumnya berasal dari dunia penyiaran dan radio, jadi ini pengalaman baru. Mulai dari layout halaman, montase di kalkir, cetak plat, hingga ke mesin cetak,semuanya manual dan menantang,” ujarnya.
Meski oplah harian Radar Palu berkisar 500 – 1.000 eksemplar per hari, semangat tim redaksi tetap konsisten. Setiap lembaran berita yang dicetak menjadi sumber kebanggaan tersendiri.
Abdee mengenang satu kebiasaan unik para wartawan koran,menyelipkan gulungan koran terbitan hari itu di saku. Itu semacam “lencana kehormatan” sebagai bukti karya.
“Kami tunjukkan dengan bangga, ‘Ini berita saya,’” kata Abdee sembari tertawa.
Namun di balik semua itu, ada perjuangan besar. Banyak wartawan koran harus pulang larut malam dan kembali bekerja subuh demi menyiapkan berita terbitan hari berikutnya.
Setelah Radar Palu digabungkan ke Radar Sulteng, Abdee dipercaya menjadi Redaktur Daerah, mengelola liputan dari berbagai kabupaten di Sulawesi Tengah.
Tapi tantangannya tak kalah berat. Kala itu, internet belum menjangkau banyak wilayah kabupaten. Kiriman berita dari wartawan daerah masih mengandalkan faksimili yang harus diketik ulang oleh redaksi.
“Kalau ada 10 kabupaten mengirim satu berita per hari, artinya kami harus mengetik ulang 10 berita setiap malam,” ungkapnya.
Berita-berita yang sudah diketik kemudian diedit kembali, disesuaikan dengan kaidah jurnalistik, lalu diolah untuk cetak.
Proses yang melelahkan inilah yang membuat koran kala itu begitu dihargai.
Namun seiring perkembangan teknologi, koran perlahan ditinggalkan. Bukan karena hilangnya pembaca, tetapi karena biaya produksi yang tinggi dan hadirnya media baru yang lebih cepat dan murah yakni media online.
“Banyak koran di Sulawesi Tengah akhirnya tutup usia. Tapi bukan karena tidak dibaca melainkan kalah bersaing dengan kecepatan era digital,” tutur Abdee.
Kini, di tengah derasnya arus informasi digital, Abdee mengajak kita merenungkan kembali nilai dari sebuah berita yang melalui proses verifikasi, bukan sekadar viral.
“Koraan, bagaimana nasibmu kini?” tutup Abdee dengan nada melankolis.