
Parimo, Updatesulawesi – Program Tagana Masuk Sekolah (TMS) yang mulai digencarkan di Kabupaten Parigi Moutong (Parimo) menuai kritik.
Muhammad Tasrif AR, anggota Tagana angkatan 2008 sekaligus mantan Koordinator Tagana Parimo, menilai pelaksanaan program tersebut tidak melibatkan Tagana secara kelembagaan.
“Seharusnya kegiatan seperti TMS ini menjadi ruang aktualisasi bagi Tagana sebagai relawan kebencanaan. Namun kenyataannya, justru hanya pejabat Dinas Sosial yang turun langsung ke sekolah-sekolah tanpa melibatkan struktur resmi Tagana,” ujar Tasrif, Kamis (28/8).
Menurutnya, hal ini menyalahi semangat awal pembentukan Tagana sebagai garda terdepan penanggulangan bencana.
Terlebih, keberadaan Tagana sudah memiliki dasar hukum jelas melalui Permensos Nomor 28 Tahun 2012 yang mengatur hak, kewajiban, serta jenjang keanggotaan.
“Kalau pola seperti ini terus dibiarkan, Tagana hanya akan diposisikan sebagai nama tanpa fungsi. Padahal kita punya relawan yang sudah terlatih sejak lama, bahkan terbagi dalam jenjang Muda dan Madya, lengkap dengan kemampuan simulasi, evakuasi, hingga pertolongan pertama,sedangkan jenjang utama Parimo menunggu kuota dari Kemensos” tegasnya.
Tasrif juga menilai, program TMS justru akan lebih efektif jika dijalankan dengan sinergi penuh antara Dinas Sosial dan Tagana.
Selain menjaga marwah organisasi, hal itu juga menjadi bentuk pengakuan terhadap kontribusi relawan yang selama ini berada di lapangan saat bencana terjadi.
“Tagana bukan sekadar atribut seragam biru. Ini soal profesionalitas, kesiapan, dan pengabdian. Kalau tidak dilibatkan secara utuh, berarti pemerintah daerah mengabaikan potensi besar yang dimiliki Tagana Parimo,” tambahnya.
Ia pun mendesak Pemkab Parigi Moutong untuk mengevaluasi mekanisme TMS agar sesuai dengan pedoman nasional.
“Kalau tujuannya membentuk Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB), maka libatkanlah orang-orang yang memang sudah berpengalaman di bidang kebencanaan. Tagana itu sudah terbukti sejak belasan tahun lalu,” pungkasnya.