
Parimo,Updatesulawesi.id – Publik dikejutkan dengan sikap Bupati Parigi Moutong, Erwin Burase, yang hanya menjatuhkan sanksi administratif berupa surat teguran terhadap Kepala Desa Sipayo, Nurdin Ilo Ilo, terkait pungutan liar (pungli) sebesar Rp10 juta per unit alat berat di lokasi Pertambangan Tanpa Izin (PETI).
Keputusan ini dinilai janggal karena pungutan tersebut jelas-jelas tidak memiliki dasar hukum dan masuk dalam kategori penyalahgunaan wewenang.
Namun, dalam surat teguran yang ditandatangani Bupati, hanya dicantumkan dasar hukum Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur syarat sahnya perjanjian, tanpa menyinggung adanya potensi pelanggaran pidana.
Padahal, dalam pernyataan sebelumnya, Erwin Burase sempat menegaskan bahwa pungutan liar tersebut bisa masuk dalam kategori pelanggaran berat dan berpotensi diproses secara hukum pidana.
Akan tetapi, substansi dalam surat teguran itu justru tidak mencerminkan sikap tegas yang pernah diucapkannya.
Penerbitan surat teguran yang mengabaikan aspek pidana menimbulkan tanda tanya, siapa sebenarnya pihak yang memberikan pertimbangan hukum kepada Bupati hingga melahirkan keputusan yang dianggap melemahkan penegakan aturan.
Banyak pihak menilai, kebijakan ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah daerah dalam memberantas praktik pungli dan korupsi di level desa.
Dalam kasus ini, Kepala Desa Sipayo diketahui telah menerbitkan surat yang mewajibkan pungutan Rp10 juta per unit alat berat yang beroperasi di lokasi PETI.
Kebijakan tersebut jelas merupakan penyalahgunaan jabatan, sebab tidak ada dasar regulasi yang membolehkan seorang kepala desa menarik pungutan dalam bentuk apa pun, terlebih di wilayah yang status aktivitasnya ilegal.
Saat ditemui awak media usai menghadiri sidang paripurna DPRD beberapa waktu lalu, Bupati Erwin Burase mengaku bahwa Kades Sipayo sudah mendatanginya langsung ke rumah jabatan dan menyampaikan pengakuan.
“Alasannya itu dia lakukan untuk kepentingan pembangunan desanya, tapi saya ingatkan caranya salah. Tidak boleh memungut dari sesuatu yang sudah bersifat ilegal dan tidak memiliki dasar hukum,” ujar Erwin.
Meski begitu, peringatan tersebut hanya dituangkan dalam bentuk surat teguran biasa. Bupati bahkan meminta Kades Sipayo untuk segera mencabut surat pungutan Rp10 juta tersebut agar polemik di masyarakat bisa mereda.
“Saya sudah perintahkan untuk dicabut, supaya tidak lagi menjadi masalah,” katanya menambahkan.
Ironisnya, meski Bupati menyebut surat teguran itu sudah cukup keras, faktanya dokumen tersebut hanya menegaskan sanksi administratif dan sama sekali tidak menyinggung ancaman sanksi pidana.
Hal ini kontras dengan regulasi yang berlaku, di mana praktik pungli jelas diatur dalam ketentuan pidana dengan ancaman hukuman tegas bagi pelakunya.
Kebijakan ini pun menuai kritik dari berbagai kalangan. Masyarakat menilai bahwa sikap pemerintah daerah justru memperlemah upaya pemberantasan pungli yang selama ini digembar-gemborkan.
Jika pungutan liar yang dilakukan aparatur desa hanya berujung pada teguran administratif, maka hal tersebut dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk bagi pemerintahan desa lainnya.
Hingga kini, belum ada kejelasan apakah aparat penegak hukum akan mengambil langkah lanjutan terkait kasus ini.
Namun, publik berharap agar tindakan semacam ini tidak berhenti pada sekadar teguran administratif, melainkan benar-benar diproses sesuai aturan hukum yang berlaku, demi menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktik pungli.