
Parimo,Updatesulawesi.id — Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah, menggelar diskusi publik membahas potensi ancaman sesar lokal di wilayah Teluk Tomini, Selasa (21/10).
Kegiatan bertema “Mengenali Sejarah dan Potensi Ancaman Sesar Lokal di Teluk Tomini” itu menjadi ruang strategis bagi pemerintah daerah, akademisi, pakar kebencanaan, hingga masyarakat untuk memperdalam pemahaman tentang risiko gempa bumi di kawasan pesisir utara Sulawesi Tengah.
Diskusi yang digelar di salah satu kafe di Kota Parigi tersebut menghadirkan Kepala Stasiun Geofisika BMKG Palu, Sujabar dan sejumlah organisasi perangkat daerah (OPD) teknis, Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB), MDMC, praktisi lingkungan, organisasi masyarakat, hingga media massa.
Kabupaten Parimo sendiri diketahui memiliki tiga sesar aktif yang berpotensi memicu gempa, yakni Sesar Tokararu, Sesar Sausu, dan Sesar Tomini.
Berdasarkan peta risiko bencana, wilayah pesisir termasuk kawasan paling rawan, sehingga kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat perlu terus diperkuat.
Dalam paparan para ahli, ditunjukkan data geologi, peta sesar, dan potensi dampak seismik di sekitar Teluk Tomini wilayah yang dikenal sebagai salah satu zona aktif gempa bumi di Sulawesi Tengah.
“Salah satu perhatian utama adalah potensi pergerakan sesar lokal di sekitar Teluk Tomini yang bisa memicu gempa berkekuatan sedang hingga kuat. Karena itu, pemahaman terhadap karakteristik sesar sangat penting untuk mendukung mitigasi berbasis sains dan kearifan lokal,” ujar Dosen Teknik Geofisika FMIPA Universitas Tadulako, Ir. Drs. Abdullah, MT.
Sementara itu, Plt Kalak BPBD Parimo, Rivai, ST, M.Si, menegaskan bahwa kegiatan tersebut merupakan bagian dari program edukasi kebencanaan yang bertujuan meningkatkan kesadaran publik terhadap potensi ancaman alam di wilayah pesisir.
“Kita tidak boleh lengah. Pengalaman masa lalu membuktikan bahwa wilayah kita pernah terdampak gempa besar disertai tsunami pada era 90-an,” ujarnya.
Sejarah mencatat, wilayah pesisir Parigi Moutong pernah diguncang gempa dahsyat pada 20 Mei 1938. Gempa berkekuatan Magnitudo 8,6 mengguncang Teluk Tomini dan memicu tsunami yang menerjang permukiman warga.
Menurut catatan BMKG, air laut di Toribulu sempat surut sejauh 80 meter sebelum muncul gelombang setinggi 2–3 meter yang menewaskan sedikitnya 17 orang dan merusak ratusan rumah.
Data dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menyebutkan gempa itu terasa hingga Kalimantan bagian timur.
Parigi menjadi wilayah terdampak paling parah: 18 orang meninggal, 942 rumah ambruk, dan 184 rumah rusak di 34 desa.
Rekaman sejarah lain juga mencatat pohon-pohon tumbang di Pelawa, tanah retak di Marantale, hingga pergeseran tanah sejauh 25 meter di area perkebunan pisang.
Di Parigi, sekolah dan gereja roboh, sementara Palu dan Donggala turut mengalami kerusakan berat.
Dalam buku “Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Daerah Sulawesi Tengah”, penulis Masyhuddin Masyhuda juga menulis peristiwa serupa yang melanda wilayah pesisir Donggala akibat gempa dan tsunami tahun 1938.
Berangkat dari pengalaman tersebut, BPBD Parimo menilai pentingnya literasi sejarah kebencanaan untuk memperkuat kesiapsiagaan masyarakat menghadapi ancaman serupa di masa depan.
“Dengan memahami pola sejarah gempa dan potensi sesar lokal, masyarakat bisa lebih siap dan tangguh menghadapi bencana,” tambah Rivai.
Dari hasil diskusi, peserta merekomendasikan sejumlah langkah strategis kepada pemerintah daerah, antara lain memperkuat pemetaan jalur sesar lokal di pesisir Teluk Tomini, meningkatkan kapasitas masyarakat dalam kesiapsiagaan bencana, serta mempererat sinergi antara instansi, akademisi, dan komunitas lokal.
“Diskusi publik ini menjadi langkah nyata menuju Parigi Moutong yang lebih tangguh, waspada, dan siap menghadapi ancaman gempa bumi serta tsunami di masa mendatang,” pungkas Rivai.



