banner 728x250

Tambang Ilegal Tombi–Buranga Mengganas di Dekat Markas APH, Luka Tragedi 2021 Seolah Tak Pernah Menjadi Pelajaran

Tragedi PETI Buranga 2021.

Parimo, Updatesulawesi.id — Hanya berjarak sekitar 40 kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Parigi Moutong dan kurang dari satu jam perjalanan dari markas Kepolisian, sebuah realitas yang mencoreng wajah penegakan hukum tersaji terang-terangan.

Di Desa Tombi dan Buranga, Kecamatan Ampibabo, deru mesin alat berat kembali menggema dari dalam hutan, menggali lubang-lubang raksasa di perut bumi dalam sebuah praktik penjarahan terbuka yang nyaris tanpa rasa takut.

banner 728x90

Aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di wilayah ini bukan lagi isu yang beredar lewat desas-desus.

Ia menjelma menjadi tontonan publik ,alat berat bekerja siang dan malam, lalu lintas truk pengangkut material keluar-masuk tanpa hambatan, seolah hukum hanya mitos yang tak berlaku di sana.

Ironisnya, wilayah ini menyimpan memori kelam yang seharusnya menjadi peringatan keras bagi negara. Pada 24 Februari 2021, longsor hebat di lokasi tambang ilegal Desa Buranga menewaskan sedikitnya tujuh orang dan menimbun puluhan penambang lainnya.

Baca berita lainnya :  Aktivitas Tambang Emas di Parigi Moutong Ancam Sektor Perikanan dan Kelautan

Tragedi tersebut terjadi akibat struktur tanah labil yang diperparah hujan deras dan aktivitas galian tanpa standar keselamatan.

Evakuasi kala itu melibatkan Basarnas, TNI, Polri, dan relawan selama berhari-hari. Peristiwa tersebut mengguncang Parigi Moutong dan menjadi salah satu tragedi tambang ilegal paling mematikan di Sulawesi Tengah.

Namun, empat tahun berselang, luka itu tampaknya tak pernah benar-benar disembuhkan.

Hari ini, praktik tambang ilegal di Tombi dan Buranga justru kembali menggeliat dengan skala yang lebih masif.

Yang menggelisahkan, semua itu berlangsung hanya puluhan kilometer dari kantor aparat penegak hukum, menciptakan paradoks telanjang antara klaim penindakan dan fakta lapangan.

Secara administratif, Polda Sulawesi Tengah maupun Polres Parigi Moutong berulang kali menegaskan tidak ada keterlibatan personel dalam aktivitas PETI.

Bantahan tegas disampaikan terbuka. Namun di lapangan, “bahasa” yang terdengar justru bahasa alat berat, truk bermuatan material tambang, dan aktivitas yang terus berjalan tanpa jeda.

Baca berita lainnya :  Kejari Parigi Moutong Warning Kontraktor, Proyek PKM Torue Terancam Tak Rampung Tepat Waktu

Pertanyaan publik pun mengerucut pada satu hal mendasar , bagaimana mungkin sebuah operasi tambang ilegal yang membutuhkan alat berat, logistik besar, dan mobilisasi massa luas dapat berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tanpa tersentuh hukum?

Apakah hukum benar-benar buta, atau justru sengaja memalingkan wajah?Di tengah masyarakat Ampibabo, kebebasan para penambang ilegal kerap ditafsirkan sebagai adanya “restu” yang tak pernah tertulis.

Dugaan keterlibatan oknum aparat bukan lagi sekadar asumsi, melainkan keyakinan sosial yang tumbuh dari apa yang mereka saksikan setiap hari.

Dengan adanya truk melintas bebas, tanpa sekat, tanpa rasa cemas.Obrolan di warung kopi hingga diskusi aktivis lingkungan menyimpulkan pola yang sama, penindakan kerap dianggap sebatas seremoni.

Aparat datang, berfoto, lalu pergi, tanpa menyentuh aktor-aktor kunci di balik jaringan PETI yang sesungguhnya.

Sementara itu, dampak lingkungan terus menggunung. Sungai-sungai di Ampibabo yang dulu menjadi sumber kehidupan kini berubah keruh, tercemar lumpur dan limbah tambang.

Baca berita lainnya :  Tinjau Pelaksanaan PSU Pilkada,Pj. Bupati Parigi Moutong Dampingi Gubernur Sulteng

Risiko longsor menghantui setiap musim hujan, dan keselamatan warga kembali dipertaruhkan demi keuntungan segelintir pihak.

Selama emas terus mengalir ke kantong-kantong tertentu, keberlanjutan lingkungan dan nyawa manusia tampaknya dianggap sebagai ongkos murah.

Dalam konteks ini, penyangkalan resmi aparat terdengar hampa jika tidak dibarengi keberanian menyisir hingga ke akar persoalan, termasuk dugaan keterlibatan internal.

Parigi Moutong kini menjadi cermin retak penegakan hukum di Sulawesi Tengah. Ketika aparat yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan justru terindikasi menjadi bagian dari ekosistem kejahatan, hukum berubah menjadi kemewahan yang sulit dijangkau rakyat kecil.

Masyarakat menunggu satu jawaban tegas ,apakah hukum benar-benar akan ditegakkan di bukit-bukit Tombi dan Buranga, ataukah deru mesin tambang ilegal akan terus menjadi musik pengiring runtuhnya integritas penegakan hukum di negeri ini.

Total Views: 32

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *