
Parimo,Updatesulawesi.id – Polemik seputar Wilayah Pertambangan (WP) dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di Kabupaten Parigi Moutong (Parimo) kembali mencuat dan menjadi sorotan publik.
Dua peristiwa besar yang menyeret nama tokoh serta pejabat daerah dinilai menjadi tamparan keras bagi wibawa dan kredibilitas kepemimpinan di daerah tersebut.
Sekertaris LSM Sangulara Sulteng, Riswan Batjo Ismail menilai bahwa dua peristiwa itu memperlihatkan lemahnya sikap tegas pemimpin daerah dalam menegakkan hukum.
“Berarti dua kali pemimpin daerah kita dipecundangi. Pertama, saat ada yang mencatut nama Wakil Bupati untuk meminta fee, dan kedua, ketika ada pihak yang diduga merubah dokumen resmi. Dua-duanya hanya membuat kagetan, tapi tidak ada langkah hukum yang nyata,” ujarnya dengan nada kritis.Sabtu (11/10).
Menurut Riswan, dua kasus tersebut bukan sekadar menimbulkan kegaduhan, melainkan juga memberikan preseden buruk bagi tata kelola pemerintahan daerah.
Ia mempertanyakan mengapa para pemimpin daerah tampak enggan membawa kasus itu ke ranah hukum.
“Pertanyaannya, sesakti apa oknum di balik dua peristiwa itu sampai pemimpin kita tidak berani menindak?” tegasnya.
Riswan juga menyoroti dampak sosial yang timbul akibat minimnya kejelasan penanganan kasus tersebut.
Ia menilai, karena tidak jelas siapa aktor sebenarnya, publik akhirnya saling curiga dan menuduh tanpa dasar.
“Ini berbahaya. Ada nama-nama yang sempat disebut-sebut sebagai pelaku, padahal bisa jadi mereka tidak terlibat sama sekali. Akibatnya, nama baik seseorang dan keluarganya bisa rusak tanpa ada klarifikasi dari pihak yang menyebut. Ini sadis namanya,” ucapnya.
Sementara itu, Irhan, salah satu tokoh pemuda Parimo, menilai dugaan manipulasi dokumen usulan 53 titik WPR bukan perkara sepele.
Ia menegaskan bahwa kebijakan sebesar itu tidak boleh dibiarkan dimanipulasi tanpa konsekuensi hukum.
“Usulan 53 titik WPR itu kebijakan besar dan strategis. Kalau bisa dimanipulasi begitu saja tanpa ada upaya mengusut siapa aktornya, maka rusak sudah kredibilitas birokrasi dan kepercayaan rakyat terhadap kepemimpinan daerah,” ujar Irhan.
Ia mendesak aparat penegak hukum dan pemerintah daerah untuk tidak menutup mata terhadap dugaan pelanggaran tersebut.
“Kalau ini dibiarkan, publik akan berpikir bahwa sistem di Parimo bisa dimainkan oleh oknum. Itu bahaya untuk masa depan pemerintahan kita,” jelasnya.
Irhan kemudian mengibaratkan situasi ini seperti kapal yang bocor di tengah laut.
“Ini sama saja dengan naik kapal bersama-sama. Di tengah jalan, ada yang sengaja melubangi kapal. Nahkoda tahu siapa yang bocorkan kapal itu, tapi tidak ada hukuman apa pun. Kapal memang tetap jalan, tapi pelaku masih di dalam kapal. Suatu saat, ketika nahkoda lengah, kapal itu bisa bocor lagi di tengah laut,” tuturnya








