
Parimo,Updatesulawesi – Jauh di pedalaman Kecamatan Palasa, tersembunyi sebuah desa bernama Pebounang. Dihuni lebih dari 1.000 kepala keluarga dan sekitar 4.000 jiwa, desa ini berdiri gagah di tengah keterbatasan.
Namun, di balik semangat warganya, tersimpan luka panjang yang belum kunjung sembuh: absennya layanan kesehatan.
Empat jam perjalanan darat dari pusat ibu kota Kabupaten Parigi Moutong bukanlah hal yang mudah. Apalagi ketika itu harus ditempuh demi mendapatkan pengobatan. Sejak awal tahun 2025, Pusat Kesehatan Desa (Puskesdes) Pebounang sunyi tanpa kehadiran seorang pun tenaga medis. Tak ada suara stetoskop.Tak ada harapan dalam bentuk resep.
Kepala Desa Pebounang, Aminah, menahan pilu setiap kali melihat warganya jatuh sakit, tanpa tahu harus dibawa ke mana.
“Minimal tiga kali seminggu saja ada petugas datang. Setelah itu mereka boleh kembali. Kami tak minta lebih. Hanya ingin wargaku tak dibiarkan menanggung sakit sendirian,” tutur Aminah, matanya basah ketika ditemui wartawan.(20/042025)
Dulu, ada seorang bidan. Satu-satunya cahaya yang sempat menyentuh gelapnya pelayanan kesehatan di Pebounang.
Namun ketika bidan itu diangkat menjadi PPPK, ia dipindahkan. Dan Puskesdes kembali sunyi. Harapan kembali memudar.
“Kalau saja ada yang bertugas di sini, kami akan menyesuaikan diri dengan jadwal mereka. Yang penting rakyatku bisa berobat,” ucapnya lirih.
Dalam dua tahun terakhir, puluhan warga Pebounang menderita penyakit yang semestinya bisa dicegah: diare, ISPA, malaria, diabetes, hingga muntaber. Beberapa di antaranya bahkan tak terselamatkan.
Mereka pergi, bukan karena tak ada obat, tapi karena tak ada yang memberikan pengobatan.
Aminah hanya bisa menggenggam erat tangan-tangan lemah warga yang datang mengadu.
Ia tak bisa menjanjikan kesembuhan, hanya mampu menyampaikan keluhan demi keluhan kepada pemerintah yang kadang terasa terlalu jauh untuk mendengar.
“Warga saya juga manusia. Mereka butuh perhatian, butuh dokter, butuh perawat. Mereka juga warga Parigi Moutong,” kata Aminah dengan suara gemetar.
Pebounang bukan hanya desa terpencil. Ia adalah desa yang terluka. Beberapa waktu lalu, banjir bandang menerjang dan menyisakan kerusakan di banyak sisi. Tapi luka yang paling dalam justru datang dalam bentuk ketidakpedulian.
“Keluhan yang paling sering saya terima adalah tentang TBC. Tapi kepada siapa mereka bisa berharap? Tak ada yang datang memeriksa, tak ada yang mencatat, tak ada yang peduli,” tutup Aminah,dalam curhatnya.